Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Selasa, 28 Agustus 2018

Kerajaan Tapalang Masa Lalu


Tapalang adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Sebelum era kemerdekaan Indonesia wilayah ini masuk di dalam konfederasi kerajaan-kerajaan di pesisir Mandaryang lazim dikenal dengan sebutan Pitu Ba’bana Binanga hasil Perjanjian Tammajarra. Pada pemerintahan kolonial Hindia Belanda Wilayah Tappalang masuk ke dalam bagian Onder Afdeling Mamuju yang merupakan bagian dari Afdeling Mandar. Selanjutnya dalam struktur pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 bekas Afdeling Mandar dibagi menjadi tiga kabupaten, yakni; Polewali Mamasa (gabungan bekas Onder Afdeling Polewali dan Onder Afdeling Mamasa), Majene, dan Mamuju. Wilayah Tapalang bergabung ke Kabupaten Mamuju yang hingga sekarang telah menjadi dua kecamatan; Tapalang dan Tapalang Barat. Wilayah Kecamatan Tapalang sebelum pemekaran terbentang dari Desa Lebani di ujung utara ke Desa Taan di ujung selatan dan Selat Makassar di barat ke Desa Bela di ujung Timur.

Tapalang dalam tutur asli Bahasa Tapalang disebut Tampalang. Nomenklatur antropologisnya adalah To Tampalang (orang Tapalang), berarti ada suatu satuan budaya yang berkembang berdasarkan nilai-nilai yang relatif sama atau secara substatif sama. Sedangkan dalam dalam konteks konfederasi kerajaan-kerajaan di Mandar, disebut Tappalang, yakni bahwa Kerajaan Tappalang merupakan satu dari tujuh persekutuan kerajaan pesisir Mandar (Pitu Ba’bana Binanga). Oleh sebab itu, tatkala membicarakan Tapalang dalam konteks kerajaan, maka dalam makalah ini ditulis Kerajaan Tappalang. Dengan demikian, urutannya adalah Tampalang sebagai sebuah wilayah tempat berdirinya satuan-satuan adat otonom yang dipimpin seorang maradika, lalu mulai popular sebagai Tappalang usai Perjanjian Tammajarra I, kemudian menjadi Kerajaan Tappalang yang dipimpin oleh seorang mara’dia sebagai sebutan resmi di Pitu Ba’bana Binanga meski kadang juga penduduka asli menyebutnya maradika- dan yang terakhir menjadi Tapalang setelah Onder Afdeling Mamuju berubah menjadi Kabupaten Mamuju yang di dalamnya terdapat Kecamatan Tapalang. Makalah ini akan mencoba memberi pengantar tentang hakikat Tappalang sebagai suatu entitas pemerintahan adat hingga berkuasanya mara’dia menggantikan para maradika di dalam satuan-satuan adat yang pernah ada.


Prosesi Pelantikan Raja Tapalang Di Tapalang
 (Kanan) A. DAI Maradika Mamuju
(Tengah) Pattana Pantang Abdal Hafid, diapit perwira Belanda. Foto Tahun 1938


Kerajaan Tappalang dipimpin oleh Mara’dia. Sebutan ini sebenarnya tidak masuk dalam bagian sebutan asli To Tampalang, sebab di tanah Tampalang sebelum menjadi Tappalang berdasarkan penyebutan di Perjanjian Tamajarra I, pimpinan satuan adat (hadat) dinamakan Maradika. Mara’dia lebih dekat dengan sebutan penutur Bahasa Mandar yang mendiami Kerajaan Sendana, Banggae, Balanipa, Pamboang, dan sebagian Binuang.Demikian juga, penamaan Tappalang menurut hemat penulis mulai populer sesudah Perjanjian Tammajarra’ I karena mengikuti tutur Sendana, asal muasal Raja Tappalang Pertama. Lebih lanjut akan dikemukakan pada bagian lain.

Mara’dia memerintah di Tappalang dengan menyatukan bekas-bekas kekuasaan kerajaan kecil yang ditinggalkan leluhur mereka.Berdasarkan batas-batas kekuasaan kerajaannya di wilayah ini juga dikenal adanya satuan-satuan adat mandiri dalam beberapa sebutan yang merepresentasikan dan menyimbolkan alur historis tersendiri, yakni; wilayah para punggaha masing-masing, Tampalang, Orobatu, Dayangnginna, Pasa’bu, dan Dungkait; serta wilayah-wilayah Mata Lalang di Karanamu, Tomakaka di Taan. Adapun Bela, tidak termasuk di dalam persekutuan Pitu Ba’bana Binanga. Satuan-satuan adat tersebut tidak akan diuraikan di dalam makalah ini karena memerlukan pembahasan terpisah dan penelusuran sumber-sumber yang relevan.

Sumber-sumber yang berbicara tentang persekutuan kerajaan-kerajaan mandiri di wilayah Mandar hanya menyebutkan bahwa Kerajaan Tappalang adalah salah satu dari bagian Pitu Ba’bana Binanga. [1]Tidak ada keterangan lain mengenai kedudukan Kerajaan tapalang selain itu. Banyak kesulitan yang ditemui tatkala hendak menuliskan genealogi Kerajaan Tappalang lantaran sumber tertulis mengenai kerajaan ini khususnya dan kerajaan-kerajaan di Mandar belum terkumpul secara komprehensif. Ini artinya, masih ada sebuah tugas budaya yang amat berat yakni menuliskan secara sistematis dan ilmiah kerajaan Mandar secara umum mencakup kerajaan dalam gabungan konfederasinya, termasuk Kerajaan Tappalang.

Genealogi Kerajaan Tappalang
Semua sumber sepakat membenarkan bahwasanya nenek moyang orang Tappalang adalah Tambuli Bassi. Beliaulah tokoh terpenting yang menurunkan seluruh silsilah dalam wilayah Kerajaan Tappalang. Sosok inilah yang berada di balik segala kejayaan masa lalu Kerajaan Tappalang. Secara sekilas disebutkan bahwa Tambuli Bassi bertolak dari negeri asalnya yakni Tabulahan menuju ke arah barat, menuruni pegunungan yang kini dikenal dengan Kabupaten Mamasa menuju wilayah pesisir.Menempuh perjalanan beberapa bulan Tambuli Bassi tiba di muara sungai lalu menancapkan bambu kuning (parring bulahang). Wilayah pesisir di muara Sungai Tamao itulah yang oleh beliau disebut sebagai “ujung perjalanan”. Diksi dalam dialek aslinya dinamakan tappa’ lalang atau tampa lalang. Tappa’ atau tampa’ berarti “ujung” dan lalang berarti jalanan atau perjalanan. Gabungan dua kata itu membentuk satu kata baru; Tappalang atau Tampalang.

Tambuli Bassi sendiri bukanlah nama aslinya. Tidak ada satu pun sumber yang dapat menyampaikan nama asli nenek moyang orang Tappalang ini. Nama itu melekat sebagai julukannya. Secara antropologis, manusia Mandar awal pada umumnya enggan menyebut nama seseorang setelah beranjak dewasa, terutama sekali mereka yang ditokohkan di dalam masyarakat. Mereka biasa dipanggil sesuai kebiasaan khas mereka.Tambuli Bassi dalam setiap perjalanannya ditemani tongkat berujung atau tombak logam atau besi yang selalu ditancapkan pada setiap langkahnya menyusuri rantai pegunungan yang tak putus hingga ke kawasan pesisir.

Tambuli Bassi berangkat dari Tabulahan bersama dengan seorang istri yang tak disebutkan namanya dan seorang anaknya bernama Toahi’. Semenjak beliau menancapkan Parring Bulahang yang dibawanya dari Tabulahang dengan sebuah pernyataan “Diami dinde’e tampa’-tampa’ lalanta’” beliau merambah tanah di antara tiga bantaran sungai; Tamao, Taosa, dan Anusu. Selama berada di tanah ini Tambuli Bassi memiliki enam orang anak. Mereka adalah Torijannangan, Tabunga-bunganna, Daeng Mattarring, Todibaruganna, Taseopanna, dan Tappalla'na. Daeng Mattarring adalah satu-satunya anak laki-laki Nenek Tambuli Bassi tersebut.

Adapun Toahi’ yang bermigrasi bersama Tambuli Bassi ke wilayah pesisir adalah anak dari istri pertama beliau.Istri pertama beliau tersebut yang juga tidak diketahui namanya, berdiam di Buntu Bulo, Tabulahang. Selain Toahi’, dari istri pertamanya tersebut beliau juga memiliki anak bernama Topelake-lakena dan Todikurra-kurra. Todikurra-kurra ikut mengikuti suaminya migrasi ke Bali, sedangkan Tapelake-lakena berpindah ke pesisir selatan, diperkirakan di wilayah Pamboang.

Semula keturunan beliau yang berdiam di Tappalang melahirkan generasi pertama yang menjadi penutur budaya dan selanjutnya memimpin satuan-satuan adat otonom sebagai maradika, punggaha, pa’bicara, dan baligau’. Torijannangan tinggal di Tamasaro’bo’. Tabunga-bunganna diperistri oleh Sanro Bone dan berdiam di Lamungan Boa, Kalukaluku, kemudian pindah ke Taloba’, kawasan Salumatti. Daeng Mattarring mendiami pesisir Tappalang, yakni Udung Batu sedangkan Toribunganna tinggal di Galung Luak, Tasiopanna di Pasa’bu, dan Tappala’na ke Dungkait karena diperistri putra Takala’birang yang kelak menjadi Maradika Kajuranni di Pasa’bu, sebuah kerajaan kecil di wilayah Sungai Ahu.

Perjalanan yang demikian panjang dalam sejarah awal Tappalang meninggalkan jejak berupa satuan-satuan adat yang dipimpin oleh Maradika, yakni; Maradika Kaju Anging, Bulo Malala, Somba Opu, Udung Bassi, Pacirong. Maradika Udung Bassi adalah saudara yang paling tua di antara mereka.

Ketokohan Tambuli Bassi yang di akhir hayatnya kembali ke Tabulahan untuk menerima sebuah penyematan penghargaan adat dari tanah leluhurnya itu menyebar ke berbagai wilayah adat lainnya. Sebuah kewajaran dalam kajian antropologi bahwa kekuatan seorang tokoh selalu sanggup disandingkan dengan ketenaran suatu komunitas. Begitulah yang terjadi pada diri seorang Tambuli Bassi. Saudara-saudaranya sesama keturunan Pongkapadang[2] mengenal dan mengidentikkan Tambuli Bassi dengan Tappalang. Tappalang adalah karya besar seorang Tambuli Bassi yang mewariskan satuan-satuan adat tersebut di atas.

Wilayah Tappalang yang ditinggalkan Tambuli Bassi hingga menjelang perundingan di Tammajarra’ masih terdiri atas satuan-satuan adat yang mandiri di bawah kekuasaan maradika. Otonomi dan kesetaraan kedudukan para maradika tersebutlah yang menyebabkan mereka sulit menyepakati pimpinan adat bersama untuk satu Tappalang. Nama besar Tappalang yang berimpit dengan kebesaran Tambuli Bassi nampaknya menuntut semacam perlunya mengangkat maradika yang akan memimpin wilayah tersebut. 

Sumber lain menyebutkan bahwa atas saran pemerintah Hindia Belanda agar Tappalang menunjuk seorang raja  diadakanlah rembug adat. Tatkala rembug para pimpinan adat memutuskan untuk menyerahkan kekuasaan itu kepada Maradika Udung Bassi sebagai kakak tertua. Namun demikian, apa yang dilakukan oleh Maradika Udung Bassi adalah mengambil inisiatif sendiri mencari raja dari wilayah lain. Justru atas inisiatif sendiri, beliau mengangkat dan mendudukkan seseorang yang berasal dari Sendana untuk menduduki jabatan tersebut. Bangsawan Sendana yang adalah sepupu beliau juga itulah yang pada akhirnya dinobatkan sebagai kepala kerajaan dengan sebutan mara’dia; Mara’dia Tappalang. Konsekuensinya adalah menurunnya satu jenjang jabatan maradika menjadi punggaha di tiap satuan adat mandiri yang ada sebelumnya itu. 

Mereka mengangkat atau menyetujui Mara’dia yang bergelar Tomappelei Asugianna (1850-1860), berturut-turut digantikan oleh Pua’ Caco Tomanggang Gallang Patta Ri Malunda (1860-1867), Nae Sukur (1867-1889), Pabanari Dg. Natonga (1889-1892), Andi Musa Paduwa Limba (1892-1908), Bustari Pattana Lantang (1908-1934), lalu diganti mara’dia terakhir bernama Abdul Hafid Pattana Pantang (1934-1936). Selama hamper satu abad lamanya, tanah Tappalang menjadi satu kerajaan tunggal yang dipimpin oleh raja berbahasa lain, bukan Bahasa Tappalang.

Satuan-satuan adat mandiri yang sebelumnya dipimpin oleh maradika tersebut di atas akhirnya dipimpin oleh punggaha kecuali di beberapa tempat dikuasakan kepada pimpinan adat bernama baligau’ dan pa’bicara. Sebagai catatan saja, bahwa terdapat pula wilayah yang semula masuk dalam kewenangan salah satu satuan adat mandiri di tanah Tappalang diserahkan atau dianugerahkan kepada golongan lain sebagai sebuah penghargaan adat misalnya, wilayah adat Mata Lalang. Wilayah ini bernama Karanamu, sebuah satuan adat mandiri. Kisah tentang penyerahan dan penganugerahan sebagian tanah kepada kelompok adat lain bernama Mata Lalang di Karanamu tersebut akan diuraikan dalam segmen lain. Sesudah diangkatnya mara’dia yang berasal dari wilayah Sendana tersebut, maka praktis wilayah-wilayah adat yang dipimpin oleh punggaha berada dalam wilayah administrasi kolonial Hindia-Belanda yang selanjutnya dimasukkan menjadi bagian dari Afdeling Mandar, Onder Afdeling Mamuju. Sebagai catatan juga bahwa Mata Lalang di Karanamu, Topatindo di Kota tidak berkenan menjadi bagian dari kekuasaan Hindia Belanda sehingga secara administrative dianggap masuk ke dalam wilayah otoritas Punggaha Dayanginna namun kekuasaan adatnya tidak pernah dicabut atau diubah hingga sekarang. Selain itu terdapat pula otoritas adat Tomakaka di Taang (Taan).

Sejak tahun 1936 tidak pernah lagi terjadi pergantian mara’dia. Dapat diduga karena dalam masa itu telah terjadi pergolakan kemerdekaan dengan berdirinya perserikatan perjuangan terutama dipelopori oleh Syarikat Islam. Perlu diketahui bahwa sesuai sumber terpercaya dari Syarikat Islam bahwa organisasi pergerakan nasional pertama di tanah air ini masuk ke tanah Sulawesi melalui Mandar. Beberapa pimpinan adat dan tokoh p[ergerakan Mandar di Majene, Balanipa, Polewali, Sendana, Tappalang dan Mamuju telah bersepakat memberi tempat kepada pergerakan Syarikat Islam baik sebelum maupun setelah menjadi partai politik yang menentang Hindia-Belanda. Itu sebabnya dapat diduga bahwa pengaruh kuat penentangan Syarikat Islam terhadap Hindia Belanda di Mandar menyebabkan mulai memudarnya kepatuhan administratif rakyat Mandar kepada pemimpin adat yang didukung oleh Belanda itu.

Terbentuknya Kelaskaran Rakyat Indonesia Muda (KRIS-Muda) Mandar di Jawa maupun di Sulawesi melibatkan sangat banyak pemuda Mandar yang mencoba mempersoalkan kekuasaan raja di bawah pemerintahan kolonial tersebut. Raja-raja Mandar pun demikian. Hingga awal kemerdekaan Indonesia, mereka bersepakat menghentikan kekuasaan swapraja dan dialihakn kepada sistem administrasi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak mula, dan wilayah bekas Afdeling Mandar bergabung ke dalam Provinsi Sulawesi.

Sumber :
Dari berbagai sumber

2 komentar: