Mamuju Ethnic

Informasi & Literasi Budaya Mamuju

Rabu, 05 Juli 2017

Maradika, Zelfbestuure Sampai Syuyitso

Masa pemerintahan kerajaan di Mamuju berlaku sejak berdirinya kerajaan Mamuju sekitar abad ke 14.M, sedangkan kepala pemerintahan kerajaan disebut Maradika sama halnya dengan kerajaan kerajaan di wilayah Mandar, istilah untuk raja adalah Maraqdia, Maradika atau Arajang  yang didasari dengan sistem monarchy absolut atau jabatan yang diwariskan karena pejabat kerajaan hanya berlaku pada garis keturunan bangsawan kerajaan yang pada umumnya berlaku di seluruh Indonesia dan dunia pada umumnya, pada tatanan sistem pemilihan pemangku jabatan di kerajaan Mamuju berdasarkan pada hasil keputusan musyawarah (sitammu ujuq)

Tujuh Dewan Hadat atau disebut Galaqgar Pitu, yang berfungsi sebagai lembaga adat yang membantu raja dalam menjalankan roda pemerintahan dan masing masing dipegang oleh orang yang terpilih sesuai tata cara adat yang berlaku. berikut adalah nama- nama pemegang jabatan Maradika di Kerajaan Mamuju dengan masa jabatannya ;


Adapun struktur lembaga adat Galaqgar Pitu  dan tugas pokoknya adalah sebagai berikut :

1.  Baligau atau setingkat dengan wakil raja, fungsinya adalah sebagai penasehat dan wakil raja dalam mengambil keputusan dan melaksanakan keputusan raja.

2.  
Pue Ballung, tugas dan fungsinya adalah sebagai hakim dan pemutus perkara dalam masyarakat dan adat.

3.  Pue Pepaq, tugas dan fungsinya sebagai koordinator dalam urusan keamanan dan ketertiban.

4.  Pue Tobone – bone, tugas dan fungsinya mengatur dan mengawasi pelabuhan (syahbandar), urusan perdagangan.

5.   Pue Tokasiwa, tugas dan fungsinya adalah kesejahteraan rakyat.

6.   Paqbicara, tugas dan fungsinya adalah sebagai juru bicara raja.

7.   Kadhi, bertugas sebagai hakim dalam hukum keagamaan dan hakim.

Dari ketujuh anggota hadat tersebut disebut Dewan Hadat Besar dan masing-masing dibantu oleh beberapa hadat kecil yang terdiri dari ; To Matoa Baligau, To Matoa Pepaq, To Matoa Ballung, To Matoa Bone- bone, To Matoa Kasiwa, Pangulu, Tokkayyang di Padang, To Matoa Joaq, Punggawa di Rangas, Punggawa di Sumare, Punggawa di Sinyonyoi, Tomakaka di Botteng, So’boq, Tobara di Topoyyo, Salim Tanabalang dan Kamangkasaran. Masing –masing hadat tersebut mewakili masyarakat di wilayah hadat tersendiri dan berfungsi membantu Galaqgar Pitu dalam menjalankan tugasnya di dalam organisasi kelembagaan adat di kerajaan Mamuju (Abd. Rahman Thahir, Selayang Pandang Adat Mamuju)


Pada awal abad  ke XX, Belanda menetapkan wilayah – wilayah jajahannya dengan sistem administrasi residensial yang terbagi – bagi menurut Afdeling, Landschaap, Onder afdeling, dan distrik. Afdeling di kepalai oleh seorang Asisten Residen, dan dibawah afdeling terbagi lagi atas beberapa Onder Afdeling yang kepalai oleh seorang Controlleur dan onder afdeling dibagi atas beberapa wilayah Swapraja sesuai dengan wilayah kerajaan - kerajaan, dan raja diberi wewenang menjadi kepala pemerintah tersendiri (Zelfbestuurder), dibawah Swapraja terdapat Distrik dan raja yang mengangkat kepala distrik dan kepala kampung. Mamuju dan Tapalang menjadi wilayah Onder afdeling berada dibawah Afdeling Mandar.


A. Djalaluddin Ammana Inda
sebagai Zelfbestuure Mamuju (foto: 1938)

Indonesia pada waktu masih menjadi Hindia Belanda, terdiri atas daerah-daerah yang diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda (Rechtstreeks Bestuurgebeid) dan daerah-daerah yang pemerintahannya diserahkan kepada Zelfbestuurders. Sejak pertama kalinya penjajah Belanda (VOC) datang di Indonesia melakukan perdagangan dan berhasil mendapatkan simpati dari raja-raja, kemudian dengan ambisi menguasai perdagangan rempah-rempah dibuatlah sebuah perjanjian dengan pihak Belanda sebagai mitra dagang dengan kesepakatan saling menguntungkan kedua pihak. Dalam hal ini pihak Belanda (VOC) adalah punya kedudukan lebih rendah dari pihak kerajaan sehingga pada saatnya kedudukan dan kekuasaan Belanda semakin kuat di Indonesia keadaan berubah menjadi terbalik sehingga pihak Belanda dalam perjanjian adalah pihak yang lebih kuat dari kedudukan raja-raja, dalam praktek kolonialisme pihak Belanda dengan leluasa mengatur dan mengangkat raja dan melakukan campur tangan dalam pemerintahan kerajaan  sehingga ditetapkanlah raja sebagai pemerintahan dibawah kekuasaan Belanda secara otonom dengan istilah Swaparaja.


Status Swapraja berarti daerah tersebut dipimpin oleh pribumi berhak mengatur urusan administrasi, hukum, dan budaya internalnya, sesuai dengan wilayah kerajaan-kerajaan, dan raja diberi wewenang menjadi kepala pemerintah tersendiri (Zelfbestuurder), dibawah Swapraja terdapat distrik setingkat dengan kepala desa dan raja yang mengangkat kapala distrik dan kepala kampung. Kerajaan Mamuju dan Tapalang menjadi wilayah Onder afdeling berada dibawah Afdeling Mandar. Pada masa pendudukan Jepang  tahun 1942, sistem pemerintahan tidak berubah dan tetap berjalan meskipun Belanda telah meninggalkan daerah ini, Jepang mengambil alih kekuasaan pemerintahan Belanda dan hanya mengganti istilah atau nama- namanya saja, seperti; Asisten residen menjadi Kenharikan, Controuler menjadi Bunken Kanriken, Raja menjadi Syuyitso, Kepala Kampung menjadi Sontiyo dsb.


Kedatangan Jepang di Sulawesi Selatan, pada mulanya disambut baik oleh rakyat karena dianggap Jepang telah membebaskan mereka dari penjajahan Belanda.
Kepercayaan bangsa Indonesia kepada Jepang semakin kuat karena Jepang tidak melarang dikibarkannya Sang Merah Putih dan menyanyikan Lagu Indonesia Raya diperbolehkan pada saat itu, sehingga pengibaran bendera Merah Putih di daratan Mamuju terjadi pada bulan Februari 1946 dengan megah. Ternyata dibalik Propaganda  Jepang yang terkenal ialah A3 , Jepang  sebagai pemimpin, pelindung, cahaya dan menjadi saudara tua bangsa Asia hanyalah propaganda perang yang lancarkan oleh Kekaisaran Jepang untuk menguasai negara negara di kawasan Asia.


Pada tanggal 30 April 1945 diadakan rapat umum yang dihadiri oleh Ir. Soekarno di lapangan Hasanuddin Makassar, acara pengibaran bendera Merah Putih di pimpin langsung oleh Ir. Soekarno, dan Djalaluddin Ammana Inda bertugas sebagai penggerek bendera pada saat itu atas inisiatif organisasi perjuangan SUDARA (Sumber Darah Rakyat) yang dipelopori Dr. G.S.S.J. Ratulangi dan Andi Mappanyuki. (Arman Husain 2017)


-----------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar